Kamis, 23 Februari 2012

Guru Sebagai Agen Membangun Karakter dalam Perspektif Pendidikan Nilai Berlandaskan Budaya

GURU SEBAGAI AGEN MEMBANGUN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN NILAI (VALUES EDUCATION) BERLANDASKAN BUDAYA
Oleh:
Dr. A. A. Ngurah Adhiputra, M.Pd.
I.     Pendahuluan
 Terbitnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 menyatakan bahwa kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mampu mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.  Ini mencerminkan peran serta guru dalam membangun karakter peserta didik adalah merupakan hal yang sangat urgen untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1). Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.
Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun 1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan karakter (Character Education) harus sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik) memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan moral atau pendidikan etika atau pendidikan karakter mulai dari anak usia prasekolah (TK), SD, SLTP, SMA/SMK, maupun di tingkat Perguruan Tinggi terus diintensifkan pelaksanaanya.   
Menurut Lawrence Kohlberg (1987) pendidikan moral adalah kegiatan untuk membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak memaksakan pola-pola eksternal terhadapnya. Dalam pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui tahap-tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran-kebenaran yang sudah baku. Dalam hubungan ini, peranan guru sebagai agen membangun karakter dalam perspektif pendidikan nilai adalah memperkenalkan kepada peserta didik dengan masalah-masalah konflik moral yang realistic. Untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan nilai atau moral, maka pendidikan tersebut harus dilakukan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya dijelaskan, bahwa pendidikan mengenai nilai-nilai moral memerlukan rekayasa dan upaya pendidikan yang khusus, yakni proses pelakonan nilai-nilai moral. Dengan demikian, maka nilai-nilai moral dan norma-norma normative yang semula bersifat keharusan akan berubah menjadi kelayakan dan mempribadi menjadi keyakinan (Kohlberg, 1989, 14).
Keyakinan terhadap nilai-nilai moral akan tampak pada perilaku peserta didik. Dalam kaitan ini, Wilson John (1989) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan terdidik secara moral, dapat dilihat dari perilakunya yang tampak dan juga pada alasan-alasan dan sasaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, moralitas akan melibatkan pengujian terhadap berbagai sikap, perasaan, dan disposisi-disposisi yang dimiliki seseorang. Selanjutnya ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nilai (values education) ditekankan pada metode pertimbangan moral dan untuk membantu peserta didik untuk mengenal apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Seperti, contoh nilai logika yaitu: “ benar atau salah”; nilai estetika yaitu: “indah atau buruk”; nilai etika yaitu: “adil atau tidak adil”; nilai agama/relegius yaitu: “halal atau haram/dosa” (percaya terhadap hukum karmaphala dalam konsep Hindu); nilai hukum yaitu: “sah atau absah”. Semua nilai-nilai itu menjadi acuan atau sistem keyakinan diri maupun kehidupan (Kosasih Djahiri, 1996 dalam Koyan, 2000: 12).
Nilai-nilai tersebut berkembang dalam kehidupan manusia yang memiliki berbagai ragam budaya. Apabila nilai ini telah mempribadi dalam kehidupan peserta didik, maka akan tampak pada pola-pola sikap, niat, dan perilakunya baik di sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.

Patuh dan hormat kepada Guru dan Orang tua
Pakha dan alpakha guru
Berpikir, berbicara, dan berbuat yang baik
Tri Kaya Parisuda
Menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri
Tatwan Asi
Tidak menyakiti atau membunuh mahluk hidup
Ahimsa
Menjaga keseimbangan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta/Tuhan; manusia dengan manusia lainya; dan manusia dengan alam lingkungan sekitar.
Tri Hita Karana


Bila dilihat dari sudut psikologi, pendidikan adalah proses pengembangan secara optimal potensi-potensi yang ada pada peserta didik. Sedangkan dilihat dari sudut politik, pendidikan adalah proses pembinaan kader-kader bangsa supaya menjadi warga negara yang baik. Selanjutnya apabila dilihat dari sudut ekonomi, maka pendidikan adalah investasi sumber daya manusia. Jadi proses pendidikan ini berlangsung sepanjang hayat (long life education) di dalam tri pusat pendidikan, yaitu di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.




II.   Pembahasan
  2.1. Pentingnya Pembangunan Karakter
Dijaman Era globalisasi – Abad 21 ini semakin dirasakan perlunnya pembangunan karakter baik di dalam lingkungan keluarga, di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Terjadinya perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung sangat cepat, yang diakibatkan oleh kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya kemajuan dibidang teknologi komunikasi dan informasi. Dalam era ini dunia seolah-olah menjadi sempit dan tanpa batas. Berbagai peristiwa di segala penjuru dunia akan segera menyebar ke bagian lain dalam waktu yang amat singkat. Segala aspek kehidupan manusia mempunyai keterkaitan yang erat dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya sehingga seolah-olah tiada batas-batas antar negara dan bangsa. Kemajuan teknologi komunikasi melalui dunia maya atau internet (e-mail; face books; chatting; cybher counseling; 0n-line, dll.) akan membawa dampak positif dan negatif bagi perkembangan para peserta didik di sekolah. Sebagian nilai budaya asing dapat menimbulkan dampak negatif, terutama nilai-nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Gejala –gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak dikalangan anak peserta didik disekolah. Seperti: terlibat dalam perkelaian antar pelajar, perkosaan, kelahiran diluar nikah, perilaku brutal, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba, narkotika, exctasy, putau, ganja), dan perilaku negatif lainnya.  Keaadaan seperti ini sungguh sangat meresahkan kita, terutama orang tua, guru, pemuka masyarakat, dan pejabat pemerintah. Gejala-gejala negatif tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan pendidik khususnya guru sebagai agen untuk membangun karakter dalam perspektif pendidikan nilai (values education) berlandaskan budaya.
   Pentingnya membangun karakter bagi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa Indonesia merupakan tanggungjawab kita semua dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan nilai atau moral di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat antara lain dengan meningkatkan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti atau pendidikan etika, dan melalui permainan rakyat/permainan tradisionil (diterapkan di TK dan SD), cerita-cerita rakyat yang mengandung tendensi pendidikan (seperti cerita dalam pewayangan tetang keluarga Pandawa dan Mahabharata, dsbnya).
Di dalam Keluarga, anak didik diberikan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai, dan cerita-cerita rakyat dan/atau permainan tradisionil yang mengandung nilai-nilai moral, sesuai dengan latar belakang budaya masyarakat setempat. Sedangkan di Sekolah, sebagai lembaga pendidikan kedua yang bersifat formal, memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai-nilai budaya, serta seleksi dan pra-alokasi tenaga kerja (Bachtiar Rifai, 1972 dalam Koyan, 2000: 8). Dengan perkataan lain, bahwa sekolah memiliki tugas untuk mengembangkan kawasan “ kognitif, afektif, dan psikomotorik” secara terpadu.
Selanjutnya Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga, memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam pembinaan generasi muda khususnya anak peserta didik. Lingkungan masyarakat memiliki karakter yang kompleks, ditandai dengan bervariasi kultur/budaya, ras, suku, agama, nilai-nilai dan berbagai jenis pola-pola perilaku anggota masyarakatnya. Oleh karana itu generasi muda hendaknya diarahkan kepada kegiatan yang positif, seperti: Pramuka, Olah raga, Kesenian, Palang Merah Remaja, Pesantian dan kegiatan lainnya yang positif bagi perkembangan jasmani dan rohani, untuk menyalurkan kreativitas dan aktivitasnya.   
       
     2.2. Pembangunan Karakter Melalui Pendidikan Nilai
Menurut pakar perkembangan moral secara kognitif (Cognitive Moral Development), Pendidikan Nilai adalah pendidikan mengenai prinsip-prinsip umum tentang moralitas dengan menggunakan metode pertimbangan moral atau cara-cara memberikan pertimbangan moral. Prinsip-prinsip moralitas adalah prinsip mengenai pilihan. Tujuan utama pendidikan nilai adalah untuk meningkatkan kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral (Sandin, 1992 dalam Koyan, 2000: 11).
Menurut pendapat Kohlberg (1987) mengklasifikasikan nilai menjadi dua golongan, yaitu: (1) Nilai-nilai obyektif atau nilai universal/nilai dasar yang bersifat Instrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Misalnya, tentang hakikat kebenaran, keindahan, dan keadilan, ini selalu hidup dan ada secara universal; dan (2) Nilai-nilai subyektif, yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi, dan corak tertentu, sesuai dengan waktu, tempat, dan budaya kelompok masyarakat tertentu. Atas dasar nilai subyektif ini, maka ukuran “baik atau buruk” akan berbeda bagi suatu bangsa yang memiliki corak budaya yang berbeda. Misalnya, di Indonesia, tugas memelihara orang tua sendiri setelah mereka menjadi tua dan pikun, adalah menjadi kewajiban anaknya. Itu adalah perbuatan baik dilihat dari nilai-nilai budaya Indonesia yang memiliki kekerabatan yang sangat kuat. Tetapi di beberapa Negara  Barat pada umumnya sudah maju dan kuat, lebih mengutamakan keadilan dan kebebasan secara individual, maka tugas memelihara orang tua sendiri , bukan menjadi keharusan bagi si anak. Orang tua mereka biasa hidup menyendiri atau ditampung di rumah-rumah jompo. Jadi dalam hubungan ini jelaslah bahwa apa yang baik bagi kita di Indonesia, belum tentu baik bagi masyarakat Barat. Oleh karena itu, pembangunan karakter melalui pendidikan nilai sangat diperlukan bagi kalangan pendidik dan orang tua di masyarakat.
Menurut pendapat dari William Stern, bahwa kepribadian seseorang tergantung pada factor bawaan (faktor internal) dan factor lingkungan (factor eksternal), dengan peengertian bahwa manusia adalah makhluk aktif dan kreatif. Yang termasuk dalam lingkungan internal adalah factor yang berhubungan dengan potensi bawaan anak itu sendiri, seperti: factor intelligensi/IQ, bakat, minat maupun dorongan intrinsiknya. Sedangkan yang termasuk dalam lingkungan eksternal adalah lingkungan instrumental dan lingkungan social-budaya. Dalam lingkungan instrumental, paling tidak akan terdapat factor pendidik, materi pendidik, alat dan metode pendidik, serta sistem komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Sedangkan dalam lingkungan social-budaya, paling tidak akan terdapat lingkungan tempat tinggal, kondisi status sosial-ekonomi keluarga (SES), lingkungan kelompok teman sebaya (peer group), pola kepemimpinan dalam keluarga atau hubungan antara anak dan orang tua atau sistem pola asuh keluarga, keutuhan keluarga, keharmonisan keluarga, sentuhan dengan budaya asing, dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat secara umum.          
        
    2.3. Pembangunan Karakter Sebagai Proses Transpormasi Nilai-nilai Budaya
Pada dasarnya, pendidikan adalah proses interaksi antar manusia atau antar pendidik dan peserta didik.  Bila dilihat dari sudut Psikologi, pendidikan adalah proses pengembangan secara optimal potensi-potensi yang ada pada anak didik. Salah satu pendekatan yang dipandang cukup relevan dalam membangun karakter peserta didik adalah melalui pendekatan Psiko-pedagogis, yaitu: pendekatan pendidikan yang berpangkal pada pemahaman aspek-aspek psikologis peserta didik dalam membangun karakter baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Atas dasar itu orang tua diharapkan mampu menghadapinya melalui pendekatan pedagogis secara tepat dan bijaksana dalam membangun karakter. Anak hendaknya dijadikan subjek dan bukan objek dalam upaya mendidik dan mempersiapkan menuju masa depannya.
Dari sudut pandangan psikologis, para peserta didik terutama kaum generasi muda dipandang sebagai individu-individu dengan karakteristik tingkah laku dan pribadi tertentu yang khas. Tingkah laku pribadi peserta didik merupakan refleksi dari proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada masa remaja, disamping karena pengaruh factor lingkungan. Pola-pola tingkah laku generasi muda berbeda dengan pola-pola tingkah laku anak-anak dan juga orang dewasa. Dengan demikian, dalam membangun karakter  para generasi muda hendaknya dipandang sebagai individu dalam segala karakteristiknya karena ia bukan lagi anak-anak dan juga belum dapat disebut orang dewasa dalam arti sesungguhnya (Moh. Surya, 1997: 18).
       Pola pendidikan yang holistic mempunyai makna bahwa pembangunan karakter bagi peserta didik merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, pembangunan karakter melalui pendidikan nilai dilaksanakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat secara luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interaksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang - bidang pendidikan nilai yang diberikan meliputi pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, dan/atau  pendidikan etika dalam kesatuan yang utuh. Dengan pola yang sifatnya holistic ini, pemberian pendidikan dalam membangun karakter peserta didik dapat dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai upaya perberdayaan generasi muda di masa depan.
Kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi berkembang terus menerus dari waktu ke waktu sesuai dengan laju perkembangan masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Semua kelompok masyarakat memiliki kebudayaan, tetapi berbeda dalam tahap perkembangannya. Taraf perkembangan kebudayaan yang sudah maju, dinamakan peradaban atau civilization. Seperti telah disebutkan, bahwa pendidikan adalah proses transmisi dan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, bahwa pendidikan membangun karakter peserta didik  adalah proses pengoperan dan pengembangan nilai-nilai budaya atau kebudayaan, termasuk nilai-nilai moral. (Umar Tirtarahardja, dkk., 1994: 35).     
Nilai-nilai kebudayaan itu mengalami proses tranformasi dalam tiga bentuk, yaitu nilai-nilai yang masih cocok akan diteruskan, seperti nilai-nilai kejujuran, rasa tanggungjawab, nilai kerjasama atau gotong-royong, nilai menerima keragaman dari latar belakang budaya yang berbeda, nilai hidup rukun dan harmonis, nilai sopan santun, dsbnya. Sedangkan nilai yang kurang cocok perlu diperbaiki, dan nilai-nilai yang tidak cocok harus diganti, seperti suka berpikir yang buruk kepada orang lain, memfiknah, berbohong, menyakiti orang lain, dsbnya.
Dalam proses membangun karakter melalui pendidikan nilai atau moral, akan disampaikan nilai-nilai budaya yang mengandung nilai-nilai moral, atau norma-norma moral yang sesuai dengan budaya masyarakat atau bangsa. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua, pendidik/guru, dan pemuka-pemuka masyarakat kepada peserta didik, yang berlansung sepanjang ayat atau sejagat ayat. Melalui pendidikan moral yang dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan kepada lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat, akan terjadi proses perkembangan moral secara berlanjut, dari masa kanak-kanak sampai dengan masa remaja, masa dewasa dan berlanjut sampai masa tua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses membangun karakter sebagai proses transformasi nilai-nilai budaya. Tinggi rendahnya kebudayaan suatu bangsa akan tercermin dalam pola-pola sikap perilakunya yang tampak pada bangsa yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa kebudayaan suatu masyarakat akan tercermin identitas masyarakat tersebut. Identitas suatu masyarakat dibentuk melalui proses interaksi antar individu atau kelompok. 
Dalam membangun karakter dalam perspektif pendidikan nilai, tidak sekedar mengajarkan proses penalaran moral semata-mata, akan tetapi harus lebih diarahkan kepada pensosialisasikan individu secara moral agar bias bertindak dengan cara-cara tertentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat atau bangsa. Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin, menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan tertentu akan perilakunya secara otonom. Dengan demikian akan tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai dengan iklim dan budaya masyarakat.        


    III.  Simpulan
§  Proses pendidikan moral atau pendidikan etika atau pendidikan karakter mulai dari anak usia prasekolah (TK), SD, SLTP, SMA/SMK, maupun di tingkat Perguruan Tinggi terus diintensifkan pelaksanaannya.
§  Proses pendidikan berlangsung sepanjang hayat (long life education) dan juga berlangsung sejagat hayat (lifewide education) di dalam Tri Pusat Pendidikan, yaitu: pendidikan keluarga, sekolah, dan pendidikan masyarakat.
§  Di dalam keluarga, anak didik diberikan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai, dan cerita-cerita rakyat dan/atau permainan tradisionil yang mengandung nilai-nilai moral, sesuai dengan latar belakang budaya masyarakat setempat.
§  Di sekolah, sebagai lembaga pendidikan kedua yang bersifat formal, memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai-nilai budaya serta memiliki tugas untuk mengembangkan kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara terpadu.
§  Di masyarakat, sebagai lingkungan pendidikan ketiga, memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam pembinaan generasi muda khususnya anak peserta didik.
§  Pola pendidikan yang holistic mempunyai makna bahwa pembangunan karakter bagi peserta didik merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait.
§  Kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi berkembang terus menerus dari waktu ke waktu sesuai dengan laju perkembangan masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
§  Pembangunan karakter dalam perspektif pendidikan nilai, tidak sekedar mengajarkan proses penalaran moral semata-mata, akan tetapi harus lebih diarahkan kepada pensosialisasikan individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara-cara tertentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat atau bangsa.
§  Pendekatan Psiko-pedagogis dalam membangun karakter peserta didik adalah pendekatan pendidikan yang berpangkal pada pemahaman aspek-aspek psikologis peserta didik dalam membangun karakter baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.             

DAFTAR PUSTAKA

Kohlberg, L. (1987). The Measurement of Moral Judgement. Cambridge: Cambridge 
                                   University Press.

Koyan I Wayan (2000). Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya. Dirjen Dikti
                                     Depdiknas. Jakarta.

Surya, Moh. (1997). Bimbingan Untuk Mempersiapkan Generasi Muda Memasuki Abad-
                                21 (pendekatan Psiko-pedagogis). Pidato Pengukuhan Guru Besar di
                                IKIP Bandung.

Wilson John, et al. (1967). Introduction to Moral Education. Baltimorre: Penguin Books.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar