Minggu, 19 Februari 2012

Peran Kepala Sekolah Terhadap Guru BK atau Konselor

PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP
GURU BIMBINGAN DAN KONSELING ATAU KONSELOR
Oleh:
Dr. A. A. Ngurah Adhiputra, M.Pd.
Dekan FIP. IKIP PGRI Bali

I.         Latar Belakang:
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 01.



Gambar 01
Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal

Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan. Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling atau konselor.

PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK
Pemenuhan standar Kemandirian Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara Akademik, Vokasional, Pribadi dan Sosial melalui Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan 
Pemenuhan Standar Kompetensi Lulusan; Penumbuhan Karakter yang Kuat serta Penguasaan hard skills dan soft skills melalui pembelajaran yang mendidik
                                        Wilayah Layanan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan
Penghormatan kepada Keunikan dan Komplementaritas Layanan
                                 Wilayah Pembelajaran yang Mendidik


Gambar  02
Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan
Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

II.    Pembahasan
2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkah Penegasan Indentitas Profesi
   Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman terhadap bimbingan dan konseling, dan memperhadapkan konselor kepada konflik, ketidak-konsistenan, dan ketidak-kongruenan peran. Untuk mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan penegasan peran dan identitas profesi. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Memahamkan Para Kepala Sekolah.
Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskan peran konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.  

  1. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.
Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan secara profesional. 

  1. Mempertegas Tanggungjawab konselor.
Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus diganti dengan sebutan “Konselor”. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No. 20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling didasarkan kepada “lisensi” dan “kredensialisasi” oleh ABKIN, sesuai dengan perundang dan peraturan yang berlaku.  

  1. Membangun Standar Supervisi.
Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif. Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi. Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.
III.    Simpulan
Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).
Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.
Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun 1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik) memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang  proses pendidikan umum.
Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional”. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa ‘Konselor adalah Pendidik’ , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah Bimbingan dan Konseling.
Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut profesional bimbingan dan konseling melalui “Standarisasi Profesi”. Standarisasi tidak hanya secara Nasional tetapi juga kearah standar Internasional, yang mencakup etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan “Dasar-Standarisasi Profesi Konseling Indonesia”, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti. Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2006 Tentang  Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Directorate  General of Higher Education, Ministry of Education,  2003, Higher Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor intern’s handbook. (3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole

Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences . N.Y.: Basic Books.

Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School Guidance and Counseling Program (4th Ed). Alexandria, VA: ACA.

Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: a Process for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi  Konselor

Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action. New York: Basic Book, Inc., Publishers.

Slavin, Robert E, 2006, Educational Psychology: Theory and Prac­tice. 8th.  Boston: Allyn and Bacon

Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York: Cambridge University Press.

T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No. 14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar